Senin, 17 Oktober 2016




Makalah Konsep Art Therapy
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Holistik II
Dosen Pembimbing :
Ns. Sri Padma Sari, S.kep., MNS (SPS)

Disusun oleh : Kelompok 6
Uvi Zahra Rachmadian      22020114130083
Komariah Fitria Ilhami    22020114130097
Alfiah Tri Hastutik             22020114130098
Putri Cahya Ningrum        22020114130100
Tiara Adelina D.                  22020114130104
I Putu Krisna Widya N       22020114130105


 DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016


KATA PENGANTAR


Puji Syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkah limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat meneyelesaikan tugas kami yaitu Makalah Konsep Art Therapy dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih pada pembimbing kami sehingga atas bimbingan beliaulah makalah ini dapat terselesaikan. Terima Kasih juga untuk teman-teman atas kerjasamanya dalam penyelesaian makalah ini.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat membutuhkan kritik dan saran dari pembaca, semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca dan khususnya teman – teman  mahasiswa Departemen Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro semoga makalah ini dapat menjadi sumber pembelajaran.

Semarang, 26 September 2016

     Penulis


BAB I

PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang

Terapi modalitas yang lebih dikenal dengan terapi komplementer atau terapi alternatif adalah kelompok system pengobatan dan perawatan kesehatan, praktek dan atau produk yang tidak tergolong dalam pengobatan konvensional yang bertujuan untuk membantu proses penyembuhan dan mengurangi keluhan yang dialami oleh klien. Menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011), NCCAM  menetapkan baha terapi komplementer secara garis besar didasarkan sebagai kategori terapi pikiran – tubuh (Mind-Body Therapy) sementara terapi biomedis lebih banyak mempengaruhi seluruh tubuh dan berfokus terhadap pengobatan atau penanganan masalah fisik.
Perkembangan terapi komplementer akhirakhir ini menjadi sorotan banyak negara. Pengobatan komplementer atau alternatif menjadi bagian penting dalam pelayanan kesehatan di Amerika Serikat dan negara lainnya. Estimasi di Amerika Serikat 627 juta orang adalah pengguna terapi alternatif dan 386 juta orang yang mengunjungi praktik konvensional (Smith et al., 2004 dalam Widyatuti, 2008). Data lain menyebutkan terjadi peningkatan jumlah pengguna terapi komplementer di Amerika dari 33% pada tahun 1991 menjadi 42% di tahun 1997 (Snyder & Lindquis, 2002 dalam Widyatuti, 2008). Dari sekian banyak terapi komplementer yang sudah berkembang salah satunya yaitu art therapy atau terapi seni.
Terapi seni adalah bentuk dari terapi gambar, yang dapat digunakan sebagai sarana curahan ekpresi seseorang. Istilah yang disebut dalam terapi ini adalah terapi seni atau ekpresif (Jarboe, 2004) atau terapi gambar (The American Art Therapy Association, 2003). Terapi seni bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan penyembuhan pada individu dengan menggunakan peralatan seni yang dapat diberikan pada semua usia, keluarga, dan kelompok (Malchiodi, 2005). Terapi seni dapat dilakukan dengan kegiatan visual berupa melukis atau menggambar sebagai sarana utamanya.

1.2  Tujuan

1.      Mahasiswa mampu memahami konsep Art Therapy sebagai terapi komplementer
2.      Mahasiswa mengaplikasikan Art Therapy sebagai terapi komplementer kepada klien

BAB II

PEMBAHASAN


2.1  Definisi

Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dalam pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam pengobatan modern (Andrews et al., 1999 dalam Widyatuti, 2008). Terminologi ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas yang menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan (Crips & Taylor, 2001). Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya dengan pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi (Smith et al., 2004 dalam Widyatuti, 2008).
Menurut AATA (American Art Therapy Association), terapi seni itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu kegiatan terapeutik yang menggunakan proses kreatif dalam lukisan untuk menambah baik dan menyempurnakan fisikal, mental dan emosi individu dibawah semua peringkat umur. Terapi tersebut pada dasarnya digunakan untuk melakukan intervensi baik usia anak-anak hingga dewasa tergantung daripada kebutuhan tiap individu tersebut. Namun yang saat ini sedang menjadi fokus adalah banyaknya kasus anak abnormal sehingga perlu intervensi secara khusus dalam menangani kasus tersebut dan salah satu jenis terapi yang dapat diberikan bagi anak-anak abnormal tersebut adalah terapi seni. Banyak pendekatan dan intervensi yang dapat diberikan dalam terapi ini, mulai dari menggambar, membuat suatu benda, bernyanyi dan bermain musik. Pendekatan tersebut disesuaikan dengan latar belakang permasalahan yang dialami anak tersebut. Dengan demikian melalui terapi ini anak tersebut diharapkan dapat memunculkan aspek-aspek yang terjadi pada alam bawah sadarnya sehingga dapat digali dan ditangani dengan metode yang tepat.
Terapi seni adalah proses pemulihan sikap dan emosi yang boleh sama-sama kita fikirkan. Gabungan antara kaedah psikologi, perlakuan, bakat dan disiplin diri boleh dijadikan ruang untuk terapi seni yang diolah sebagai mekanisme pemulihan. Program terapi seni disusun untuk membantu meningkatkan pemahaman dan pengetahun mengenai perilaku sosial yang positif dan pengertian anak mengenai hubungan antar individu. Merujuk pada pendapat Hovland (Azwar, 2000), bahwa perhatian, pemahaman dan penerimaan pesan yang disampaikan akan menentukan apa yang akan dipelajari oleh individu mengenai isi pesan tersebut, maka terapi seni yang diberikan pada anak akan memengaruhi sikap dan perilaku anak. Hal tersebut dipengaruhi oleh sejauh mana seseorang dapat memperhatikan, memahami dan menerima terapi seni, sehingga individu dapat menggunakannya sebagai seni ekspresi diri dan luapan perasaan.
Terapis seni percaya bahwa pelepasan energi kreatif yang terkait dengan ekspresi artistik dapat menyebabkan penyembuhan fisik, emosional dan spiritual. Mereka percaya bahwa tindakan menggambar, melukis atau membuat patung membantu pasien dengan mempromosikan kesadaran diri, mengurangi kesepian dan memungkinkan pasien untuk mengungkapkan perasaan yang mereka tidak bisa mengungkapkannya.

2.2  Sejarah Art Therapy

Sejarah peristiwa gerakan seniman, dokter dan psikolog telah mempengaruhi peningkatan kualitas praktik terapi seni modern. Terapi seni saat ini melibatkan penggunaan media seni yang berbeda dan dibuat berdasarkan pernyataan pasien; melalui riwayat pribadi dan masalah yang telah membawa mereka ke dalam terapi, sehingga membentuk kesamaan pemahaman dan kepercayaan melalui objek seni. Kompleksitas mendefinisikan jaringan teori dan konsep yang mendasari terapi seni ini sangat sulit, tapi tanpa koneksi  sejarah terapi seni tidak akan seperti saat ini kemajuannya. 
Satu abad telah berlalu, peristiwa ke peristiwa, keberhasilan telah tercapai, tetapi untuk siapa atau hal apa membuat kita memerlukan satu akuntabilitas? Memilih momen terbesar dari dampak terapi seni merupakan tugas yang sulit; penggalian beberapa pengaruh akan memberikan lebih luas tampilan keseluruhan, catatan perjalanan dari rumah sakit jiwa pertama di tahun 1700-an, memberikan contoh gerakan berpengaruh seni dan seniman, serta tokoh-tokoh politik dan psikoanalis memberikan teori-teori yang masih di gunakan hingga saat ini.
Description: Francisco_de_Goya_y_Lucientes_-_The_Madhouse_-_WGA10078  Abad kedelapan belas mendeskripsikan rumah sakit jiwa yang menggambarkan definisi dari kondisi yang brutal dan mengerikan,  “Laki-laki dirantai, disiksa, dan ditahan dikurungan … untuk memuaskan semangat, untuk menakut-nakuti mereka, untuk menaklukkan, untuk mengatasi dan menjinakkan “(Susan Hogan, 2001: 35) yang sering berakhir dengan kematian traumatik. Francisco Goya adalah seorang pelukis yang menggambarkan beberapa kondisi menjijikkan, seperti dalam karya ‘The Madhouse di Saragossa‘ di 1794. Tergambar, tempat gelap, hanya sebagian menyala, dengan postur, gerak tubuh dan ekspresi dari tahanan menunjukkan kondisi menyedihkan mereka … ekspresi dramatis dan penuh kasih dari adegan yang dilihatnya di Saragossa. 
Emil Kren dan Daniel Marx (2012) menyatakan meskipun Goya tidak memiliki pengaruh pada perubahan peraturan’penjara’, lukisannya mewakili dokumentasi yang jujur dari perjalanan rumah sakit jiwa awal dibandingkan dengan hari ini. William Tuke adalah sosok yang berpengaruh di tahun 1700-an, mengembangkan metode yang lebih manusiawi dalam perawatan penderita gangguan jiwa, kemudian dikenal pada akhir abad ini sebagai ‘pengobatan moral’. Pada 1796, dengan bantuan dana dari teman-temannya, Quaker dan para dokter, ia membuka ‘The York Retreat’, sebuah langkah besar dalam perlakuan manusiawi untuk orang-orang yang tidak beruntung. Pada akhir abad kedelapan belas banyak orang masih percaya bahwa terapi agama bisa menyembuhkan kegilaan, tetapi meningkatnya popularitas dalam pandangan penuh kasih terhadap pelajaran ini menjadi jelas, ‘gila tidak lagi dilihat sebagai benar-benar tidak masuk akal tapi memiliki beberapa alasan yang bisa memberi makna ‘(Susan Hogan, 2001: 36), langkah pertama dalam menetralisir wilayah antara waras dan tidak sehat secara mental.
Selanjutnya pada abad kesembilan belas terdapat perubahan besar di rumah sakit jiwa menerapkan sistem ‘Parliamentary Select Committee’ tepatnya pada tahun 1815-1816, memiliki kepentingan tertentu dalam memaksa anggota The British Medical Profession untuk mengakomodasi pengobatan moral di dalam terapi mereka. Ini merupakan awal dari pendekatan artistik diperkenalkan kepada pasien di rumah sakit jiwa. William A. F. Browne adalah salah satu psikiater terkemuka yang mendorong pendekatan ini pada tahun 1800, dengan membuka dua rumah sakit jiwa di Skotlandia ; Montrose Asylum (1834-1838) di Angus dan kemudian, Crichton Royal in Dumfries (1838-1857). Dua rumah sakit tersebut menjadi dua rumah sakit pertama yang mendorong pasien mereka untuk terlibat dalam seni dan arahan Browne, memiliki dua manfaat utama : memberikan semangat sehat untuk tubuh dan mengusir delusi, serta untuk membangun ketenangan dan memudahkan perlakuan teguran, bantahan, ancaman, dorongan dan penalaran (Browne, 1841: 18).
Menemukan efek menenangkan pasien melalui keterlibatan dalam gambar menjadi tanda-tanda pertama seni yang digunakan sebagai terapi. Memproduksi karya seni itu merupakan cara untuk menghilangkan penyakit (Susan Hogan, 2001: 44) dan didukung argumen Browne bahwa menemukan Drawing dan merekomendasikan  sebagai resep atau obat dalam empat kasus, dan muncul kuratif dalam dua.  WAF Browne kemudian menjadi tokoh terkemuka dalam penghapusan kekejaman dan penyelewengan fisik di rumah sakit jiwa, dan melanjutkan metode perkenalan melalui pendekatan artistik. William Morris, seorang seniman desain tekstil dan sastrawan romantis selama pertengahan abad kesembilan belas meneruskan lebih lanjut menggunakan media seni di rumah sakit di tahun 1800-an, memimpin ‘English Arts and Crafts Movement’, menghadirkan keterlibatan kerajinan sebagai sarana kepuasan pribadi dan memperkaya kualitas hidup.
Pengaruhnya pada penggambaran pekerjaan membawa kebahagiaan kepada pekerja dan ini penting, menghubungkan perhatian antara memproduksi seni dan kerajinan, serta kehidupan itu sendiri, mengadakan produksi benda seni di rumah sakit. ‘Seorang pria di tempat kerja, membuat sesuatu yang orang merasa  ada karena dia bekerja dan hal itu dikehendaki, mengolah energi dari pikiran dan jiwa serta tubuhnya. . Memori dan imajinasi membantu dia sebagai pekerja ‘(William Morris, 1999: 129).
Description: raft of medusa
                                                    The Raft of Medusa
Theodore Gericault adalah contoh sempurna dari seorang pelukis romantis; salah satu adegan paling terkenal yakni karyaThe Raft of Medusa, diproduksi pada tahun 1818, menggambarkan sejenak; efek dari puing kapal, selamat abadi kelaparan, dehidrasi, kanibalisme dan kegilaan. Gericault melewati proses panjang untuk menghasilkan karya tersebut. Ini merupakan rekreasi imajiner melalui pikiran seniman dalam merangkum Romantisme. Sehubungan dengan terapi seni, sikap ekspresionis diri ini bisa disebut menjadi firasat awal untuk komunikasi terapeutik dari perasaan pribadi melalui seni.
Prinsip sama ekspresionisme, yang dikembangkan antara awal dan pertengahan abad ke 20 penekanan pada orisinalitas dan ekspresi diri. Mengungkapkan makna dan pengalaman emosional untuk membangkitkan ide, bukan aktualitas juga representasi dari romantisme, jadi apa yang membuat dua gerakan seni yang berbeda? Aspek romantisme ditarik ke dalam abad ke 20 terhadap gerakan impresionisme, sehingga ada hubungan dalam hal ekspresi dari kehidupan batin dan perasaan seniman.
Description: scream
                         The Scream
Stereotip ekspresionis adalah Edvard Munch, karya-karyanya baru-baru ini dipamerkan di Tate Modern. ‘The Scream’ adalah adegan yang paling terkenal, yang diciptakan dalam serangkaian empat versi terpisah menggunakan minyak, pastel, tempera dan diterjemahkan ke dalam litografi. Ini menjadi The Scream ‘(The Art Institute of Chicago, 2011), refleksi dari rasa sakit emosional dan ketidakstabilan. Sebuah kesadaran berkembang dalam seni (kegilaan) menjadi ditoleransi dalam masyarakat hanya melalui lompatan berani seniman seperti Gericault dan Munch untuk menjadi ekspresif dan emosional, terlibat dalam apa yang mereka lukiskan, dan mengabaikan stigma yang melekat pada kegilaan dan kondisi mental yang tidak stabil.
Seorang pasien bernama Adam Christie dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Royal Montrose di Skotlandia pada tahun 1901, di mana ia adalah salah satu yang pertama diberikan studio sendiri di halaman rumah sakit. Menggunakan kaca dari botol untuk mengikis batu menjadi patung, ukiran kayu dengan paku, dan memproduksi lukisan menggunakan korek api, pendekatan primitif dan spontan ini untuk membuat karyanya segera dikenal dengan sebutan’Art Brut‘, atau dikenal sebagai ‘Raw Art’. Ini adalah ‘bukti dari kekuatan orisinalitas bahwa semua orang memiliki tetapi dalam banyak hal telah dihambat oleh pelatihan pendidikan dan kendala sosial (Ian Chilvers dan John Glaves-Smith, 1998: 35). Menghabiskan sisa tahun hidupnya di Montrose, ia menciptakan lebih dari dua ratus patung menggunakan benda yang ditemukan, dan mendapatkan reputasi sebagai seniman Outsider’, istilah yang digunakan untuk menggambarkan ‘ seniman tidak terlatih … lahir oleh budaya dan mewakili seni paling murni ‘(David Edwards, 2004: 22).  Adam Christie dan seniman Outsider lainnya sama-sama telah memainkan peran penting dalam pengembangan terapi seni, dan terutama melalui pengaruhnya pada banyak terapis seni awal. Mencari produksi artistik individu sederhana dengan kualitas penciptaan khusus, dan menarik perhatian publik terhadap, didorong untuk berkembang dan berlanjut hingga hari ini.

2.3  Aplikasi Terapi dalam Keperawatan

a.      Penerapan Terapi Seni
Menurut Setyoadi & Kushariyadi (2011), art therapy dapat diterapkan pada klien yang memiliki indikasi sebagi berikut:
·        manager dan staf yang berada di bawah tekanan,
·        seseorang yang umumnya stress dan terlalu banyak bekerja,
·        orang dengan masalah kesehatan mental,
·        orang dengan kesulitan belajar berat,
·        anak-anak dan orang muda yang memiliki masalah sesuai di sekolah dan dengan masalah pribadi di rumah,
·        seseorang yang merasabebas dari masalah, namun ingin mengeksplorasi masalah dalam diri mereka sendiri,
·        lansia untuk mengurangi tingkat stress dan sebagai sarana dalam mengekspresikan perasaan, ide, dan emosi
·        anak-anak yang memiliki kemampuan bahasa terbatas dan untuk mengungkapkan perasaan yang membingungkan,
·        pasien dengan usia muda yang tidak dapat mengidentifikasi emosi dengan kata-kata,
·        remaja dan orang dewasa yang tidak mampu atau tidak mau berbicara tentang pikiran dan perasaan, dan pasien dengan penyakit organik.
Proses terapi harus dilaksanakan oleh orang yang memiliki mandat atau sertifikat yang diperaku oleh badan profesional. Mereka ini disebut ahli terapi. Para pendidik bukanlah ahli terapi seni melukis. Namun demikian, pendidik masih dapat menerapkan unsur terapi dalam kegiatan melukis anak anak untuk membantu mereka mengekspresikan emosi.
Konsep pelaksanaan terapi mengacu pada latihan yang berulang ulang. Dengan menerapkan unsur terapi dalam kegiatan melukis anak anak, pendidik dapat mendorong anak anak melukis secara berulang kali dengan nyaman dan mencoba mencungkil emosi anak anak melalui percakapan tentang lukisan tersebut. Melalui kegiatan susulan yang diusulkan dalam buku ini atau kegiatan lain yang sesuai, pendidik dapat membantu anak anak meningkatkan konsep diri mereka. Buku ini akan membantu pendidik untuk memahami unsur terapi seni melukis dan elemen elemen yang perlu dalam interpretasi lukisan anak anak.
Ada tiga prinsip utama dalam proses memahami lukisan yang perlu diperhatikan oleh pendidik awal anak anak yaitu:
a)      Prinsip pertama
Pendidik seharusnya tidak hanya menginterpretasi lukisan semata - mata tetapi harus lebih memperhatikan perasaan internal anak anak.
b)      Prinsip kedua
pendidik harus bertindak sebagai 'peneliti' dengan menggunakan pendekatan sistematis dalam memahami lukisan anak anak. Sebagai contoh proses yang harus dilaksanakan sebelum, selama dan setelah anak-anak melukis, memberi perhatian terhadap ukuran kertas gambar dan memberi perhatian terhadap warna, bentuk, objek serta item yang tertinggal dari lukisan tersebut.
c)      Prinsip ketiga
Pendidik menganalisis informasi yang diperoleh dari lukisan dan luahan anak anak, merekam serta mengumpulkan semua informasi tersebut untuk membuat rumusan keseluruhan.

b.      Panduan Pelaksanaan Kegiatan Melukis Untuk Anak Anak
Pelaksanaan kegiatan melukis dibagi menjadi tiga langkah
1.      Langkah pertama
Melibatkan empat sesi melukis oleh anak anak.
o   Diri Saya
o   Keluarga Saya
o   Kegiatan Bersama Keluarga, dan
o   Cita-cita Saya

Pendidik harus memastikan anak-anak telah memiliki kesiapan untuk melukis di mana anak-anak seharusnya telah memiliki keterampilan untuk membentuk objek dasar sebelum sesi melukis dimulai. Instruksi kepada anak-anak harus diberi secara santai dan tidak memberi tekanan untuk anak-anak melukis.
2.      Langkah kedua
Setiap sesi akan disusul dengan interpretasi lukisan oleh pendidik menurut panduan interpretasi yang diusulkan. Saat menginterpretasi, pendidik harus ngobrol pertanyaan bagi mencungkil cerita di balik lukisan tersebut. Idealnya pendidik merekam percakapan selama sesi ini berlangsung.
3.      Langkah ketiga
Jika ada anak-anak yang perlu dibimbing, laksanakan beberapa kegiatan yang diusulkan untuk meningkatkan emosi dan tingkat konsep diri anak. Pendidik bebas menggunakan kreativitas masing-masing untuk melaksanakan kegiatan tindak lanjut berdasarkan kebutuhan anak-anak atau dapat mengacu pada proposal kegiatan susulan yang disertakan.

c.       Aplikasi
1.      Sesi 1: Lukisan Diri Saya
Untuk sesi pertama ini anak-anak diminta melukis diri mereka. Jika pendidik merasakan anak-anak masih belum menguasai konsep elemen pada diri seorang manusia, pendidik dapat membimbing anak-anak terlebih dahulu tentang elemen pada wajah dan diri manusia seperti memiliki rambut, dua mata, hidung, mulut dan telinga pada wajah, diikuti dengan elemen tubuh , tangan dan kaki. Pendidik juga dapat membimbing anak-anak tentang penampilan wajah masing-masing seperti rambut lurus atau keriting, mata bulat atau sepet, memakai jilbab atau tidak. Selanjutnya pendidik dapat membimbing anak - anak untuk menggambarkan emosi yang ingin ditampilkan pada wajah seperti cara melukis senyuman, muka masam atau muka sedang marah.
2.      Sesi 2: Lukisan Keluarga Saya
Anak-anak banyak menghabiskan waktu mereka bersama keluarga. Ada berbagai emosi yang dapat digambarkan saat bersama keluarga mereka. Jadi penting untuk mendorong anak-anak bercerita tentang keluarga mereka berdasarkan lukisan yang dihasilkan.
3.      Sesi 3: Lukisan Aktivitas Bersama Keluarga
Lukisan 'Kegiatan Bersama Keluarga' dapat memberi gambaran tentang emosi dan sosial anak - anak dengan individu yang dekat dengan diri mereka. Dalam mengidentifikasi sosioemosi anak ini, pendidik dapat menanyakan beberapa pertanyaan saat melukis, bertujuan membantu membasmi emosi anak saat melakukan kegiatan bersama keluarga.
4.      Sesi 4: Lukisan Cita-cita Saya
Sebagai pendidik, masukkan diri kita ke dalam suasana lukisan untuk merasakan perasaan, dan emosi anak. Dengar penjelasan anak-anak terhadap lukisan mereka.Tunjukkan kesungguhan kita terhadap cerita yang disampaikan anak.

2.4  Pembahasan dalam Pandangan Budaya, Agama dan Kesehatan

1)      Pandangan Art Therapy dalam Budaya
Ilmuwan menemukan keterkaitan antara seni dan psikologi. Psikoanalisa, yang kemunculannya dipelopori oleh Sigmund Freud, kemudian menjadi semakin menguatkan hubungan antara teori seni dan psikologi, termasuk diantaranya teori-teori paling komprehensif dan berani tentang sumber dari dorongan artistik yang dikemukakan oleh Freud. Telah banyak teori-teori yang muncul untuk membantah dan mengkritik teori Freud yang terlalu cenderung kepada dorongan biologis manusia. Namun demikian, terlepas dari kelemahan-kelemahan tersebut, kerangka dasar dari teori Freud telah menopang pengertian modern tentang kepribadian, dan telah menjadi unsur-unsur hakiki kebudayaan Barat. Hubungan yang ada antara seni dan psikologi dijelaskan ruang lingkupnya dalam suatu cabang ilmu yang disebut Terapi Seni.
Terapi seni adalah salah satu cara untuk mendiagnosa seberapa parah gangguan kejiwaan oleh seseorang dan salah satu cara untuk seseorang menunjukan identitas nya yang sebenarnya, budaya memainkan peran besar dalam pembentukan pengertian tentang diri dan identitas seseorang . Budaya juga memiliki pengaruh luas atas seluruh perilaku seseorang di semua bidang kehidupan. Seseorang dapat dan perlu mengeksplorasi bagaimana pengertian tentang diri, pada hakekatnya saling berhubungan dengan budaya, mempengaruhi kepribadian pribadi khususnya perasaan, pikiran, dan motivasi pribadi. Pengertian kita tentang diri kita dikenal dengan sebutan self-concept atau self-construal, suatu rujukan penting untuk memahami perilaku seseorang itu sendiri, sekaligus memahami dan memprediksi perilaku orang-orang lain. Tinjauan awal perihal bagaimana budaya menyumbang pada pembentukan konsep diri akan menyediakan landasan bagi pemahaman hubungan antara budaya dan kepribadian (personality). Konsep tentang diri ada hubungannya dengan budaya dan dengan adanya budaya yang berbeda-beda, hal itu telah menyumbang terciptanya konsep diri yang berbeda-beda pula. Budaya dengan ciri individualistik umumnya memiliki konsep diri yang independent, sementara yang berbudaya kolektif memiliki konsep diri yang interdependent. Perbedaan konsep diri ini membawa pengaruh pada banyak aspek lain perilaku seseorang. Berkaitan dengan hubungan antara budaya dan kepribadian, terdapat perbedaan pandangan. Antropologi budaya memandang kepribadian lebih sebagai culturally specific, yang terbentuk oleh kekuatan unik setiap budaya sesuai dengan kondisi lingkungannya. Sementara pendekatan crosscultural psychological memandang kepribadian sebagai sesuatu yang berlainan dan terpisah dari budaya.
Pendekatan lain yang muncul belakangan adalah pendekatan cultural psychology. Dalam pendekatan ini, budaya dan kepribadian dilihat bukan sebagai yang sungguh-sunguh terpisah satu sama lain, akan tetapi sebagai sistem yang saling menciptakan dan memelihara satu sama lain. Culture dan personality adalah dua hal yang saling membentuk dan berkembang bersama. Dalam penelitian lintas budaya yang dilakukan, nampak bahwa negara-negara dengan budaya yang berbeda mendukung validitas dari universalitas sifat-sifat dasar kepribadian (traits), yang terdiri atas neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousnes. Hal ini berarti ada pengakuan bahwa semua manusia, dengan berbagai budaya yang berbeda, berbagi struktur kesamaan kepribadian, yang dicirikan oleh kelima sifat-sifat bawaan tersebut, yang dianggap sebagai suatu mekanisme psikologi universal dan sekaligus merupakan produk seleksi alam sekitar.
Telah diketahui bahwa budaya mempengaruhi kepribadian seseorang, maka kreativitas seseorang akan berbeda beda dan unik. Dalam mengerjakan karya yang melibatkan kreativitas (Art Terapi) , semua emosi dan pikiran yang mengendap akan “tereksternalisasi‟ atau tersalurkan, sehingga semua emosi dan pikiran tersebut pada akhirnya akan menjadi jelas akar permasalahannya karena terbacanya simbol-simbol dari bentuk yang ada pada karya tersebut. Seni juga memiliki kemampuan untuk mencatat dan menyampaikan berbagai tingkatan emosi. Mengartikulasikan aspek budaya dari emosi membutuhkan konsep yang komprehensif dari budaya itu sendiri. Tanpa konsep tersebut, seseorang  tidak memiliki framework untuk memahami apa yang kultural tentang emosi, tidak punya parameter untuk menentukan apa yang kultural di dalamnya. Menghubungkan ke dalam kognisi, emosi adalah budaya persis ketika emosi itu dipikirkan. Emosi dibentuk oleh proses budaya. Kualitas emosi merefleksikan proses kultural, dan berfungsi menghidupkan terus menerus proses budaya.  Dari uraian ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa, jika dilihat dalam ruang lingkup yang lebih luas lagi, seni telah menyediakan jalan bagi pemahaman, membuat suatu pengertian dan menjelaskan pengalaman batin (inner experiences) tanpa harus menjelaskan pengalaman tersebut dengan menggunakan kata-kata.  
2)      Pandangan Art Therapy dalam Agama
A.     Pandangan Agama terhadap Seni
Pada dasarnya Agama merupakan pokok ajaran yang paling fundamental yang menjadi turunan dan pedoman untuk ilmu – ilmu lain. Di dalam agama sendiri jika kita sadari tuhan memiliki kemahakuasaan yang begitu besar, di dalam maha karyanya yang paling sempurna yaitu alam semesta beserta segala isinya tuhan menciptakannya juga sangat memperhatikan usur seni disetiap bagiannya. Dari hal tersebut jelas tidak ada pantangan di dalam agama untuk melarang umatnya berekspresi lewat karya seni selama karya yang dibuatnya bagus dan sesuai dengan etik dan estetika. Banyak kita jumpai juga produk – produk karya seni yang sengaja dibuat untuk memenuhi rasa kepuasan batin dan spiritual seperti contohnya kaligrafi, patung dewa – dewi di bali, lukisan perjamuan kudus dan masih banyak lagi. Dalam membangun tempat ibadah pun saat ini unsur karya seni juga sangat melekat pada desain – desain pembuatan bangunannya, itu artinya seni telah mengalir menjadi satu di dalam konsep ketuhanan atau agama.

B.     Seni dalam Dimensi Agama
Posisi Seni dalam Agama Keluasan dan kompleksitas ekspresi seni tidak semestinya dihukumi dengan satu sisi sudut pandang saja. Sudut pandang agama saja, misalnya, tidaklah memadai untuk menentukan hitam-putihnya nilai kesenian. Mungkinkah manusia melepaskan diri dari kesenian, misalnya dengan larangan agama? Mungkin dan tidak mungkin. Mungkin bagi orang per orang dari sekian miliar orang, tapi sangat tidak mungkin untuk semua orang. Tapi, apakah agama selalu menghalang-halangi kesenian ataukah antara agama dan kesenian saling membantu? Kalau melihat sejarah, kita akan tahu bahwa kesenian juga punya banyak peran dalam agama. Hampir tidak ada agama yang tidak punya ekspresi seni, mulai tembangannya, nadanya, mantranya, sampai adzan dan qira’at-qira’atnya. Hubungannya tentu tidak selamanya simbiosis mutualistis karena kadang juga terjadi banyak ketegangan. Orang yang beragama itu tidak pernah bisa lepas dari lingkungan dan norma-norma masyarakatnya sendiri-sendiri. Tapi, kita juga tahu bahwa masyarakat di dunia ini amat beragam, dengan jutaan macam kultur. Karena itu, ketika agama apa pun diturunkan kepada sekelompok manusia, ia akan ditafsirkan, dimaknai sendiri-sendiri oleh orang-orang yang bersangkutan. Sehingga dalam persamaannya, baik kultur atau ekspresi budaya apa pun, selalu terdapat perbedaan. Dan di dalam perbedaan selalu terselip persamaan. Ruang lingkup ekspresi seni manusia itu tidak bisa dibendung, baik secara fisik maupun batin, sebab semua lini kehidupan manusia itu berproses.
Cara pandang agama terhadap seni itu terkadang sama dengan cara pandang kita terhadap budaya. Kita tidak bisa melihatnya hanya dari sisi ekonomi saja. Sebab, fungsi kebudayaan juga bermacam-macam. Jadi, yang penting adalah seberapa jauh kita tidak memandangnya hanya dari satu sudut saja. Kita juga tidak boleh mengharuskan memandang sesuatu hanya dari satu sudut pandang. Mengharuskan dan menjangankan juga sesuatu yang akan menyulitkan, terutama kalau kita berpandangan absolut. Karena itu, baik anjuran maupun larangan, keduanya harus juga ada batasnya, dan tidak boleh berlaku secara mutlak. Kuncinya: antara satu dan lain sudut pandang ada keterkaitan. Bentuk keterkaitan itu bisa tebal dan bisa pula tipis.

C.     Art Terapi dalam pandangan Agama
Menurut Malchiodi (2003), melalui kegiatan art atau seni ini, tidak hanya membantu individu untuk mengungkap kan perasaan atau emosinya dengan cara atau bahasa yang lain, tetapi juga dapat membantu individu dari segala usia untuk  mengeksplorasi emosi dan keyakinan, mengurangi stres, mengatasi masalah dan konflik, dan meningkatkan rasa kesejahteraan. Dari pernyataan tersebut sama seperti tujuan agama yaitu membuat seseorang merasa tenang, nyaman dan bisa mengontrol antara pikiran dan perasaan. Mark Wagner (dalam Hirawan, 2014) terdapat 10 manfaat art atau seni bagi anak anak, yaitu :
a)      Seni mengajarkan pemecahan masalah.
Mengerjakan sebuah karya seni memberikan pengalaman pada anak betapa banyaknya kemungkinan dan solusi yang bisa diambil dalam menghadapi suatu masalah/tugas.
b)      Seni mempersiapkan anak-anak menghadapi masa depannya.
Anak yang bertumbuh dalam stimulasi kreativitas dan open minded akan memiliki peluang lebih luas dalam perjalanan karirnya, karena kreativitas adalah life skill yang dibutuhkan dalam berbagai situasi sehari-hari.
c)      Seni mengembangkan kecintaan akan belajar dan keterbukaan atas ide-ide baru.
Aktivitas seni mengajarkan keberanian mengambil resiko dan keterbukaan akan berbagai kemungkinan.
d)      Seni adalah bisnis internasional.
Seni tidak mengenal batas, para pekerja seni dapat melintasi batas jarak dan negara.
e)      Seni mengembangkan kemampuan otak kiri dan otak kanan.
Seni membutuhkan fokus, konsentrasi dan berbagai koordinasi visual motorik.
f)        Seni meningkatkan performansi kepribadian.
Aktivitas seni dapat meningkatkan kepercayaan diri, motivasi, komunikasi, kerja sama dan juga memperkuat hubungan dengan lingkungan sekitarnya.

g)      Seni memfasilitasi kecerdasan emosional.
Seni dapat membantu anak-anak untuk mengekspresikan perasaannya, terutama pada anak yang masih memiliki keterbatasan bahasa. Sering kali anak-anak mampu menemukan kesenangan dan kebanggan atas karya yang mereka hasilkan.
h)      Seni mengembangkan aktivitas dalam komunitas.
Seni adalah satu-satunya bidang yang menembus batas-batas budaya, agama, ras, maupun tingkat sosial ekonomi. Bahasa seni adalah bahasa emosi dimana batasan pengetahuan dan logika tidak menjadi hambatan untuk memahami suatu karya seni.
i)        Seni meningkatkan kepekaan.
Seni membuka hati dan pikiran akan kemungkinan-kemungkinan dan imajinasi.
j)        Seni adalah media tanpa batasan.
Kreativitas dan pengekspresian diri adalah hal yang penting dalam hidup manusia. Sejarah menunjukkan bahwa manusia purba memiliki kreativitas sejak petroglyphs, cave paintings, juga patung-patung kuno yang ditemukan. Sama dengan anak-anak, hal pertama yang mereka lakukan adalah bermain, menggambar, dan menggunakan imajinasi mereka tanpa adanya batasan.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan art atau seni memiliki banyak manfaat. Secara psikologis, melalui kegiatan seni individu dapat mengungkapkan dan mengeksplorasi emosi yang dirasakan, mengurangi stress, mengatasi konflik dan meningkatkan kesejahteraan. Selain itu, art juga memiliki manfaat lainnya, yaitu seni mengajarkan pemecahan masalah, mempersiapkan anak-anak dalam menghadapi masa depan, mengembangkan ide-ide baru, seni sebagai bisnis internasional, membantu mengembangkan otak kanan dan otak kiri, performansi kepribadian, memfasilitasi kecerdasan emosional, mengembangkan aktifitas, meningkatkan kepekaan, dan mengembangkan kreativitas.
3)      Pandangan dalam Kesehatan
Kondisi penuh tekanan merupakan ancaman bagi tubuh. Ketika tubuh terpapar ancaman, hasilnya adalah sekumpulan perubahan fisiologis yang umumnya disebut respon stres (Pinel, 2009). Respon yang muncul merupakan respon yang kompleks, yaitu fisiologis, kognitif, emosional dan perilaku. Respon fisiologis dapat termanifestasi dalam sistem syaraf otonom, sistem kekebalan tubuh dan sistem neuroendokrin. Perubahan yang ditunjukkan dari respon fisiologis, kognitif, emosional dan perilaku merupakan gejala kecemasan. Gejala kecemasan yang muncul pada setiap induvidu dapat berbeda. Pada orang dewasa gejala kecemasan dapat dilihat dari beberapa respon meliputi respon fisiologis, kognitif, emosional dan perilaku.
Berdasarkan pendekatan biologis diajukan beberapa hipotesis yang menyatakan bahwa emosi dihasilkan oleh umpan balik organ dan otot tubuh ke sistem syaraf  pusat. Kemudian muncul hipotesis yang menyatakan bahwa persepsi imformasi sensoris oleh otak pertamatama akan menghasilkan pengalaman emosi (takut, marah dan lain sebagainya), kemudian ekspresi emosi seperti peningkatan denyut jantung dan wajah yang memerah. Beberapa emosi manusia tergantung pada kelompok fungsional nukleus dan seluruh akson yang saling bersambungan di sistem syaraf pusat yang disebut sistem limbik. Sistem limbik meliputi bagian talamus dan hipotalamus dan bagian korteks serebral.Sistem limbik dihubungkan dengan daerah korteks serebral yang terlibat dalam pembelajaran kompleks, nalar, dan personalitas (Pinel, 2009).
Bagian lain dari sistem limbik adalah amigdala. Amigdala merupakan pusat utama pengumpulan data sensoris dan pengatur informasi emosi. Amigdala menerima data sensoris dari talamus, batang otak, juga informasi sensoris yang terintegrasi dari daerah asosiasi korteks serebral. Jalur utama sinyal yang memicu ekspresi emosional merambat dari amigdala ke sistem saraf otonom dan sistem motoris somatik melalui hipotalamus dan formasi retikuler batang otak (Sarah, Nida, 2013).
Pada saat berhadapan dengan kondisi yang mengancam, bagian otak yang aktif adalah sistem limbik. Amigdala memperolah sinyal dari hipotalamus serta batang otak. Kemudian amigdala akan mengirimkan sinyal yang memicu ekspresi emosional. Sinyal tersebut merambat dari amigdala ke sistem saraf otonom dan sistem motoris somatik. Pada kondisi yang mengancam, sistem saraf otonom mengirimkan sinyal kepada sistem saraf simpatik untuk berkerja. Kerja sistem saraf simpatik menghasilkan peningkatan detak jantung, merelaksasikan bronki di paruparu, menghambat aktivitas lambung dan usus dan peningkatan suplai darah ke otot (Sarah, Nida, 2013). Keluhan fisik yang dialami oleh individu sebagian besar seperti kelelahan, mual, sesak nafas, insomnia, berkurangnya nafsu makan, peningkatan denyut jantung dan ketegangan pada otot. Keluahan tersebut hasil dari respon fisiologis merupakan manifestasi dari kerja saraf simpatis yang merupakan bagian dari sistem saraf otonom.
Art Therapy merupakan terapi seni yang disarankan untuk penyembuhan trauma khususnya mereka yang mempunyai kendala dalam mengekspresikan perasaan melalui bahasa verbal. Terapi ini sesuai karena dilihat dari karakteristik individu yang menuntut kebebasan dalam penyampaian ekspresi jiwa dan pikirannya. Terapi itu dapat menyingkap dan melepaskan tekanan alam bawah sadar melalui karya-karya yang terdiri dari hasil seni tersebut. Terapi tersebut bertujuan untuk menjadikan pasien nyaman atas diri mereka. ( Rahmat, 2008). Malchiodi (2003) menyimpulkan pendapat dari beberapa ahli yang melakukan penelitian yang menggunakan art therapy sebagai intervensi psikologis yang mendukung perlakuan medis. Berdasarkan pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa proses membuat kreasi seni dapat mengembangkan kemampuan coping pasien terhadap stres dan gejalagejala kesehatan.
Kekuatan art therapy bagi seseorang  yang mengalami kecemasan terletak pada proses kreatif dalam art therapy dapat memfasilitasi untuk mengungkapkan ekspresi diri dan mengeksplorasi diri (Liebmann, dalam Chambala, 2008). Pengalaman dalam menggambar, melukis ataupun aktivitas artistik lainnya melibatkan proses di otak dan terlihat melalui reaksi tubuh. Proses pembuatan gambar mengaktifkan visual cortex pada otak. Oleh karena itu tubuh akan memberikan respon yang sama ketika menghadapi situasi yang nyata. Sebagai salah satu contoh, pembuatan gambar dalam art therapy pada tema tertentu yang berkaitan dengan peristiwa atau kondisi tertentu dapat mempengaruhi emosi dan pikiran (Malchiodi, 2003).
Kemampuan berpikir, emosional, kemampuan psikomotorik, akan berjalan, atau katakanlah semua aspek tersebut akan secara spontan berfungsi secara serempak pada saat proses berkarya seni terjadi. Disini, seni memainkan fungsi sesungguhnya sebagai mediator, bukan sebagai agen utama penyembuh, dalam arti ia bersifat reflektif, memberi gambaran sampai sejauh manakah kerusakan aspek kejiwaan pada pasien, dan merekamnya. Sehingga terapis dapat menentukan pengobatan yang bagaimanakah yang sesuai bagi pasien yang dapat menghasilkan visualisasi tersebut. Dengan demikian, penulis memandang bahwa image-image yang tampak dapat pula berfungsi sebagai sebuah diagnosa. Seperti halnya pada ilmu kedokteran, ataupun psikologi. Berikut adalah sebuah contoh jika kondisi kesehatan seseorang akan mempengaruhi visualisasi.  Perbandingan visualisasi antara pasien Neurotik dan pasien yang telah dapat dikatakan sembuh atau normal melaui terapi seni.
Ciri-ciri pada gambar pasien neurotik
Ciri-ciri pada gambar normal
1. Warna dan bentuk divisualisasikan tumpang tindih (overlapping)
2. Bentuk dan komposisi absurd
3. Pemilihan warna cenderung ke warna- warna gelap dan suram
4. Tidak terdapat objek real (nyata)
5. Terdapat visualisasi bentuk-bentuk dasar seperti segitiga, lingkaran persegi
6. Pembagian bidang tampak kacau
7. Brush stokes tampak kasar, tak terkendali dan kacau
8. Warna terkadang tampak samar
1. Warna dan bentuk divisualisasikan dengan teratur
2. Bentuk dan komposisi tampak harmonis
3. Pemilihan warna cenderung pada warna-warna cerah, dan terdapat keselaran antara terang dan gelap
4. Terdapat dominasi bentuk-bentuk real (nyata)
5. Pembagian bidang tampak teratur
6. Brush strokes terlihat tenang, teratur dan solid
7. Warna tampak terorganisir dengan rapi tampak solid dan rapi

               

BAB III

PENUTUP


3.1 Kesimpulan

Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dalam pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam pengobatan modern (Andrews et al., 1999 dalam Widyatuti, 2008). Menurut AATA (American Art Therapy Association), terapi seni itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu kegiatan terapeutik yang menggunakan proses kreatif dalam lukisan untuk menambah baik dan menyempurnakan fisikal, mental dan emosi individu dibawah semua peringkat umur. Terapi tersebut pada dasarnya digunakan untuk melakukan intervensi baik usia anak-anak hingga dewasa tergantung daripada kebutuhan tiap individu tersebut.
Terapis seni percaya bahwa pelepasan energi kreatif yang terkait dengan ekspresi artistik dapat menyebabkan penyembuhan fisik, emosional dan spiritual. Mereka percaya bahwa tindakan menggambar, melukis atau membuat patung membantu pasien dengan mempromosikan kesadaran diri, mengurangi kesepian dan memungkinkan pasien untuk mengungkapkan perasaan yang mereka tidak bisa mengungkapkannya. Konsep pelaksanaan terapi mengacu pada latihan yang berulang ulang. Dengan menerapkan unsur terapi dalam kegiatan melukis anak anak, pendidik dapat mendorong anak anak melukis secara berulang kali dengan nyaman dan mencoba mencungkil emosi anak anak melalui percakapan tentang lukisan tersebut. Melalui kegiatan susulan yang diusulkan dalam buku ini atau kegiatan lain yang sesuai, pendidik dapat membantu anak anak meningkatkan konsep diri mereka. Buku ini akan membantu pendidik untuk memahami unsur terapi seni melukis dan elemen elemen yang perlu dalam interpretasi lukisan anak anak.

DAFTAR PUSTAKA

Anoviyanti, Sarie Rahma. (2008). Terapi Seni Melalui Melukis pada Pasien Skizofrenia dan Ketergantungan Narkoba. Vol 2, 72-84.
Cahill, M., et al. (1999). Nurse’s Handbook of Alternative and complementary therapies. Pennysylvania : Springhouse Corporation
Coiner & Kim, (2011) dalam Fatmawati, Atikah . Kajian Literatur : Efektifitas Art Therapy Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Dan Kesehatan Psikologis Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal Medica Majapahit.2015. Vol 7(1). Hal 3-10. http://ejurnalp2m.stikesmajapahitmojokerto.ac.id/index.php/MM/article/view/16/13
Field & Kruger, (2005) dalam Fatmawati, Atikah . Kajian Literatur : Efektifitas Art Therapy Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Dan Kesehatan Psikologis Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal Medica Majapahit.2015. Vol 7(1). Hal 3-10.
Humaniora. (2010). Pengembangan Culture, Self, And Personality Dalam Diri Manusia.Vol 1, 37-48.
Johnson & Sullivan-Marx (2006) dalam Fatmawati, Atikah . Kajian Literatur : Efektifitas Art Therapy Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Dan Kesehatan Psikologis Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal Medica Majapahit.2015. Vol 7(1). Hal 3-10.
Malchiodi, C. A. (2003). Handbook of Art Therapy. New York: Guilford Press
Malchiodi, (2008) dalam Fatmawati, Atikah . Kajian Literatur : Efektifitas Art Therapy Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Dan Kesehatan Psikologis Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal Medica Majapahit.2015. Vol 7(1). Hal 3-10.
Mariotti & Rocha de, (2011) dalam Fatmawati, Atikah . Kajian Literatur : Efektifitas Art Therapy Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Dan Kesehatan Psikologis Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal Medica Majapahit.2015. Vol 7(1). Hal 3-10.
Nagasaka, (2013) dalam Fatmawati, Atikah . Kajian Literatur : Efektifitas Art Therapy Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Dan Kesehatan Psikologis Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal Medica Majapahit.2015. Vol 7(1). Hal 3-10.
Nainis et al, (2006) dalam Fatmawati, Atikah . Kajian Literatur : Efektifitas Art Therapy Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Dan Kesehatan Psikologis Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal Medica Majapahit.2015. Vol 7(1). Hal 3-10.
Norasmah, Noor Mohamad dkk. 2013. Interpretasi Lukisan Kanak-kanak. Pusat Penyelidikan Perkembangan Kanak-kanak Negara. Universitas Pendidikan Sultan Idris
Pinel, J. P. J. (2009). Biopsikologi. Edisi ke 7. Terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rahmat Fajar. 2008. Konseling Anak-Anak Panduan Praktis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ratner, C. (2000). A cultural-psychological analysis of emotions, in Culture and Psychologgy, Vol 6, 1-39.
Reynolds, (2012) dalam Fatmawati, Atikah . Kajian Literatur : Efektifitas Art Therapy Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Dan Kesehatan Psikologis Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal Medica Majapahit.2015. Vol 7(1). Hal 3-10.
Sarah, Nida. (2013). Kajian Teoritis Pengaruh Art Therapy Dalam Mengurangi Kecemasan Pada Penderita Kanker. Buletin Psikologi. Vol 18 (1) : 29 – 35
Setyoadi & Kushariyadi. (2011). Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien Psikogeriatrik. Jakarta : Salemba Medika
Setyoadi & Kushariyadi (2011) dalam Norasmah,Noor Mohamad dkk. 2013. Interpretasi Lukisan Kanak-kanak. Pusat Penyelidikan Perkembangan Kanak-kanak Negara. Universitas Pendidikan Sultan Idris