Makalah Konsep Art
Therapy
Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Keperawatan Holistik II
Dosen
Pembimbing :
Ns.
Sri Padma Sari, S.kep., MNS (SPS)
Disusun oleh : Kelompok
6
Uvi
Zahra Rachmadian 22020114130083
Komariah
Fitria Ilhami 22020114130097
Alfiah
Tri Hastutik 22020114130098
Putri
Cahya Ningrum 22020114130100
Tiara
Adelina D. 22020114130104
I
Putu Krisna Widya N 22020114130105
DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS
DIPONEGORO
2016
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkah limpahan
rahmat dan karunia-Nya kami dapat meneyelesaikan tugas kami yaitu Makalah
Konsep Art Therapy dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih pada pembimbing kami sehingga
atas bimbingan beliaulah makalah ini dapat terselesaikan. Terima Kasih juga
untuk teman-teman atas kerjasamanya dalam penyelesaian makalah ini.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat
membutuhkan kritik dan saran dari pembaca, semoga makalah ini bermanfaat untuk
pembaca dan khususnya teman – teman mahasiswa Departemen Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro semoga makalah ini dapat menjadi sumber
pembelajaran.
Semarang, 26 September 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terapi modalitas yang lebih dikenal
dengan terapi komplementer atau terapi alternatif adalah kelompok system
pengobatan dan perawatan kesehatan, praktek dan atau produk yang tidak
tergolong dalam pengobatan konvensional yang bertujuan untuk membantu proses
penyembuhan dan mengurangi keluhan yang dialami oleh klien. Menurut Setyoadi
dan Kushariyadi (2011), NCCAM menetapkan baha terapi komplementer secara
garis besar didasarkan sebagai kategori terapi pikiran – tubuh (Mind-Body
Therapy) sementara terapi biomedis lebih banyak mempengaruhi seluruh tubuh dan
berfokus terhadap pengobatan atau penanganan masalah fisik.
Perkembangan terapi komplementer
akhirakhir ini menjadi sorotan banyak negara. Pengobatan komplementer atau
alternatif menjadi bagian penting dalam pelayanan kesehatan di Amerika Serikat
dan negara lainnya. Estimasi di Amerika Serikat 627 juta orang adalah pengguna terapi
alternatif dan 386 juta orang yang mengunjungi praktik konvensional (Smith et
al., 2004 dalam Widyatuti, 2008). Data lain menyebutkan terjadi peningkatan
jumlah pengguna terapi komplementer di Amerika dari 33% pada tahun 1991 menjadi
42% di tahun 1997 (Snyder & Lindquis, 2002 dalam Widyatuti, 2008). Dari
sekian banyak terapi komplementer yang sudah berkembang salah satunya yaitu art
therapy atau terapi seni.
Terapi seni adalah bentuk dari terapi
gambar, yang dapat digunakan sebagai sarana curahan ekpresi seseorang. Istilah
yang disebut dalam terapi ini adalah terapi seni atau ekpresif (Jarboe, 2004) atau
terapi gambar (The American Art Therapy Association, 2003). Terapi seni
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan penyembuhan pada individu dengan
menggunakan peralatan seni yang dapat diberikan pada semua usia, keluarga, dan
kelompok (Malchiodi, 2005). Terapi seni dapat dilakukan dengan kegiatan visual
berupa melukis atau menggambar sebagai sarana utamanya.
1.2 Tujuan
1. Mahasiswa
mampu memahami konsep Art Therapy sebagai terapi komplementer
2. Mahasiswa
mengaplikasikan Art Therapy sebagai terapi komplementer kepada klien
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Terapi
komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dalam
pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam
pengobatan modern (Andrews et al., 1999 dalam Widyatuti, 2008). Terminologi ini
dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas yang menambahkan pendekatan
ortodoks dalam pelayanan kesehatan (Crips & Taylor, 2001). Terapi
komplementer juga ada yang menyebutnya dengan pengobatan holistik. Pendapat ini
didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu
sebuah keharmonisan individu untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa
dalam kesatuan fungsi (Smith et al., 2004 dalam Widyatuti, 2008).
Menurut AATA
(American Art Therapy Association),
terapi seni itu sendiri dapat
diartikan sebagai suatu kegiatan terapeutik yang menggunakan proses
kreatif dalam lukisan untuk menambah baik dan menyempurnakan fisikal, mental
dan emosi individu dibawah semua peringkat umur. Terapi
tersebut pada dasarnya digunakan untuk melakukan intervensi baik usia anak-anak
hingga dewasa tergantung daripada kebutuhan tiap individu tersebut. Namun yang
saat ini sedang menjadi fokus adalah banyaknya kasus anak abnormal sehingga
perlu intervensi secara khusus dalam menangani kasus tersebut dan salah satu
jenis terapi yang dapat diberikan bagi anak-anak abnormal tersebut adalah
terapi seni. Banyak pendekatan dan intervensi yang dapat diberikan dalam terapi
ini, mulai dari menggambar, membuat suatu benda, bernyanyi dan bermain musik.
Pendekatan tersebut disesuaikan dengan latar belakang permasalahan yang dialami
anak tersebut. Dengan demikian melalui terapi ini anak tersebut diharapkan
dapat memunculkan aspek-aspek yang terjadi pada alam bawah sadarnya sehingga
dapat digali dan ditangani dengan metode yang tepat.
Terapi seni adalah
proses pemulihan sikap dan emosi yang boleh sama-sama kita fikirkan. Gabungan
antara kaedah psikologi, perlakuan, bakat dan disiplin diri boleh dijadikan
ruang untuk terapi seni yang diolah sebagai mekanisme pemulihan. Program
terapi seni disusun untuk membantu meningkatkan pemahaman dan pengetahun
mengenai perilaku sosial yang positif dan pengertian anak mengenai hubungan
antar individu. Merujuk pada pendapat Hovland (Azwar, 2000), bahwa perhatian,
pemahaman dan penerimaan pesan yang disampaikan akan menentukan apa yang akan
dipelajari oleh individu mengenai isi pesan tersebut, maka terapi seni yang
diberikan pada anak akan memengaruhi sikap dan perilaku anak. Hal tersebut dipengaruhi
oleh sejauh mana seseorang dapat memperhatikan, memahami dan menerima terapi
seni, sehingga individu dapat menggunakannya sebagai seni ekspresi diri dan
luapan perasaan.
Terapis seni percaya
bahwa pelepasan energi kreatif yang terkait dengan ekspresi artistik dapat
menyebabkan penyembuhan fisik, emosional dan spiritual. Mereka percaya bahwa
tindakan menggambar, melukis atau membuat patung membantu pasien dengan
mempromosikan kesadaran diri, mengurangi kesepian dan memungkinkan pasien untuk
mengungkapkan perasaan yang mereka tidak bisa mengungkapkannya.
2.2 Sejarah Art Therapy
Sejarah
peristiwa gerakan seniman, dokter dan psikolog telah mempengaruhi peningkatan
kualitas praktik terapi seni modern. Terapi seni saat ini melibatkan penggunaan
media seni yang berbeda dan dibuat berdasarkan pernyataan pasien;
melalui riwayat pribadi dan masalah yang telah membawa mereka ke dalam
terapi, sehingga membentuk kesamaan pemahaman dan kepercayaan melalui objek
seni. Kompleksitas mendefinisikan jaringan teori dan konsep yang mendasari
terapi seni ini sangat sulit, tapi tanpa koneksi sejarah terapi seni
tidak akan seperti saat ini kemajuannya.
Satu
abad telah berlalu, peristiwa ke peristiwa, keberhasilan telah tercapai, tetapi
untuk siapa atau hal apa membuat kita memerlukan satu akuntabilitas? Memilih
momen terbesar dari dampak terapi seni merupakan tugas yang sulit; penggalian
beberapa pengaruh akan memberikan lebih luas tampilan keseluruhan, catatan
perjalanan dari rumah sakit jiwa pertama di tahun 1700-an, memberikan contoh
gerakan berpengaruh seni dan seniman, serta tokoh-tokoh politik dan psikoanalis
memberikan teori-teori yang masih di gunakan hingga saat ini.
Abad kedelapan belas
mendeskripsikan rumah sakit jiwa yang menggambarkan definisi dari kondisi yang
brutal dan mengerikan, “Laki-laki dirantai, disiksa, dan ditahan
dikurungan … untuk memuaskan semangat, untuk menakut-nakuti mereka, untuk menaklukkan,
untuk mengatasi dan menjinakkan “(Susan Hogan, 2001: 35) yang sering berakhir
dengan kematian traumatik. Francisco Goya adalah
seorang pelukis yang menggambarkan beberapa kondisi menjijikkan, seperti dalam
karya ‘The Madhouse di Saragossa‘ di 1794. Tergambar, tempat
gelap, hanya sebagian menyala, dengan postur, gerak tubuh dan ekspresi dari
tahanan menunjukkan kondisi menyedihkan mereka … ekspresi dramatis dan penuh
kasih dari adegan yang dilihatnya di Saragossa.
Emil Kren dan Daniel Marx (2012) menyatakan meskipun
Goya tidak memiliki pengaruh pada perubahan peraturan’penjara’, lukisannya
mewakili dokumentasi yang jujur dari perjalanan rumah sakit jiwa awal
dibandingkan dengan hari ini. William Tuke adalah
sosok yang berpengaruh di tahun 1700-an, mengembangkan metode yang lebih
manusiawi dalam perawatan penderita gangguan jiwa, kemudian dikenal pada akhir
abad ini sebagai ‘pengobatan moral’. Pada 1796, dengan bantuan dana dari
teman-temannya, Quaker dan para dokter, ia membuka ‘The York Retreat’, sebuah langkah besar dalam
perlakuan manusiawi untuk orang-orang yang tidak beruntung. Pada akhir
abad kedelapan belas banyak orang masih percaya bahwa terapi agama bisa
menyembuhkan kegilaan, tetapi meningkatnya popularitas dalam pandangan penuh
kasih terhadap pelajaran ini menjadi jelas, ‘gila tidak lagi dilihat
sebagai benar-benar tidak masuk akal tapi memiliki beberapa alasan yang bisa
memberi makna ‘(Susan Hogan, 2001: 36), langkah pertama dalam
menetralisir wilayah antara waras dan tidak sehat secara mental.
Selanjutnya pada abad kesembilan belas terdapat perubahan
besar di rumah sakit jiwa menerapkan sistem ‘Parliamentary Select Committee’
tepatnya pada tahun 1815-1816, memiliki kepentingan tertentu dalam memaksa
anggota The British Medical Profession untuk mengakomodasi pengobatan moral di
dalam terapi mereka. Ini merupakan awal dari pendekatan artistik
diperkenalkan kepada pasien di rumah sakit jiwa. William A. F. Browne adalah salah satu psikiater
terkemuka yang mendorong pendekatan ini pada tahun 1800, dengan membuka dua
rumah sakit jiwa di Skotlandia ; Montrose Asylum (1834-1838) di Angus dan kemudian, Crichton Royal in Dumfries (1838-1857). Dua rumah sakit tersebut menjadi dua
rumah sakit pertama yang mendorong pasien mereka untuk terlibat dalam seni dan
arahan Browne, memiliki dua manfaat utama : memberikan semangat sehat untuk
tubuh dan mengusir delusi, serta untuk membangun ketenangan dan memudahkan perlakuan teguran,
bantahan, ancaman, dorongan dan penalaran (Browne, 1841: 18).
Menemukan efek menenangkan pasien melalui keterlibatan dalam
gambar menjadi tanda-tanda pertama seni yang digunakan sebagai
terapi. Memproduksi karya seni itu merupakan cara untuk menghilangkan
penyakit (Susan Hogan, 2001: 44) dan didukung argumen Browne bahwa
menemukan Drawing dan merekomendasikan
sebagai resep atau obat dalam empat kasus, dan muncul kuratif dalam
dua. WAF Browne kemudian menjadi tokoh terkemuka dalam penghapusan
kekejaman dan penyelewengan fisik di rumah sakit jiwa, dan melanjutkan metode
perkenalan melalui pendekatan artistik. William Morris,
seorang seniman desain tekstil dan sastrawan romantis selama pertengahan abad
kesembilan belas meneruskan lebih lanjut menggunakan media seni di rumah
sakit di tahun 1800-an, memimpin ‘English Arts and Crafts Movement’,
menghadirkan keterlibatan kerajinan sebagai sarana kepuasan pribadi dan
memperkaya kualitas hidup.
Pengaruhnya pada penggambaran
pekerjaan membawa kebahagiaan kepada pekerja dan ini penting, menghubungkan
perhatian antara memproduksi seni dan kerajinan, serta kehidupan itu sendiri,
mengadakan produksi benda seni di rumah sakit. ‘Seorang
pria di tempat kerja, membuat sesuatu yang orang merasa ada karena dia
bekerja dan hal itu dikehendaki, mengolah energi dari pikiran dan jiwa serta
tubuhnya. . Memori dan imajinasi membantu dia sebagai pekerja ‘(William
Morris, 1999: 129).
The Raft of Medusa
Theodore Gericault adalah contoh sempurna dari seorang pelukis romantis;
salah satu adegan paling terkenal yakni karyaThe Raft of Medusa,
diproduksi pada tahun 1818, menggambarkan sejenak; efek dari puing kapal,
selamat abadi kelaparan, dehidrasi, kanibalisme dan kegilaan. Gericault
melewati proses panjang untuk menghasilkan karya tersebut. Ini merupakan rekreasi
imajiner melalui pikiran seniman dalam merangkum Romantisme. Sehubungan
dengan terapi seni, sikap ekspresionis diri ini bisa disebut menjadi firasat
awal untuk komunikasi terapeutik dari perasaan pribadi melalui seni.
Prinsip sama ekspresionisme, yang
dikembangkan antara awal dan pertengahan abad ke 20 penekanan pada orisinalitas
dan ekspresi diri. Mengungkapkan makna dan pengalaman emosional untuk
membangkitkan ide, bukan aktualitas juga representasi dari romantisme, jadi apa yang membuat dua gerakan seni yang
berbeda? Aspek romantisme ditarik ke dalam abad ke
20 terhadap gerakan impresionisme,
sehingga ada hubungan dalam hal ekspresi dari kehidupan batin dan perasaan
seniman.
The Scream
Stereotip
ekspresionis adalah Edvard Munch, karya-karyanya baru-baru ini dipamerkan di
Tate Modern. ‘The Scream’ adalah adegan yang paling terkenal, yang diciptakan
dalam serangkaian empat versi terpisah menggunakan minyak, pastel, tempera dan
diterjemahkan ke dalam litografi. Ini menjadi The Scream ‘(The Art Institute of
Chicago, 2011), refleksi dari rasa sakit emosional dan ketidakstabilan. Sebuah
kesadaran berkembang dalam seni (kegilaan) menjadi ditoleransi dalam
masyarakat hanya melalui lompatan berani seniman seperti Gericault dan
Munch untuk menjadi ekspresif dan emosional, terlibat dalam apa yang mereka
lukiskan, dan mengabaikan stigma yang melekat pada kegilaan dan kondisi mental
yang tidak stabil.
Seorang pasien bernama Adam Christie dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Royal
Montrose di Skotlandia pada tahun 1901, di mana ia adalah salah satu yang
pertama diberikan studio sendiri di halaman rumah sakit. Menggunakan kaca dari
botol untuk mengikis batu menjadi patung, ukiran kayu dengan paku, dan
memproduksi lukisan menggunakan korek api, pendekatan primitif dan spontan ini
untuk membuat karyanya segera dikenal dengan sebutan’Art Brut‘, atau dikenal sebagai ‘Raw Art’. Ini adalah ‘bukti dari kekuatan
orisinalitas bahwa semua orang memiliki tetapi dalam banyak hal telah dihambat
oleh pelatihan pendidikan dan kendala sosial (Ian Chilvers dan John
Glaves-Smith, 1998: 35). Menghabiskan sisa tahun hidupnya di Montrose, ia
menciptakan lebih dari dua ratus patung menggunakan benda yang ditemukan, dan
mendapatkan reputasi sebagai seniman ‘Outsider’, istilah yang digunakan untuk
menggambarkan ‘ seniman tidak terlatih … lahir oleh budaya dan mewakili
seni paling murni ‘(David Edwards, 2004: 22). Adam Christie dan seniman
Outsider lainnya sama-sama telah memainkan peran penting dalam pengembangan
terapi seni, dan terutama melalui pengaruhnya pada banyak terapis seni awal.
Mencari produksi artistik individu sederhana dengan kualitas penciptaan khusus,
dan menarik perhatian publik terhadap, didorong untuk berkembang dan berlanjut
hingga hari ini.
2.3 Aplikasi Terapi dalam Keperawatan
a.
Penerapan
Terapi Seni
Menurut
Setyoadi & Kushariyadi (2011), art therapy dapat diterapkan pada klien yang
memiliki indikasi sebagi berikut:
·
manager dan staf yang
berada di bawah tekanan,
·
seseorang yang umumnya
stress dan terlalu banyak bekerja,
·
orang dengan masalah
kesehatan mental,
·
orang dengan kesulitan
belajar berat,
·
anak-anak dan orang
muda yang memiliki masalah sesuai di sekolah dan dengan masalah pribadi di
rumah,
·
seseorang yang
merasabebas dari masalah, namun ingin mengeksplorasi masalah dalam diri mereka
sendiri,
·
lansia untuk mengurangi
tingkat stress dan sebagai sarana dalam mengekspresikan perasaan, ide, dan
emosi
·
anak-anak yang memiliki
kemampuan bahasa terbatas dan untuk mengungkapkan perasaan yang membingungkan,
·
pasien dengan usia muda
yang tidak dapat mengidentifikasi emosi dengan kata-kata,
·
remaja dan orang dewasa
yang tidak mampu atau tidak mau berbicara tentang pikiran dan perasaan, dan pasien
dengan penyakit organik.
Proses terapi harus dilaksanakan oleh orang yang
memiliki mandat atau sertifikat yang diperaku oleh badan profesional. Mereka
ini disebut ahli terapi. Para pendidik bukanlah ahli terapi seni melukis. Namun
demikian, pendidik masih dapat menerapkan unsur terapi dalam kegiatan melukis
anak anak untuk membantu mereka mengekspresikan emosi.
Konsep pelaksanaan terapi mengacu pada latihan yang
berulang ulang. Dengan menerapkan unsur terapi dalam kegiatan melukis anak
anak, pendidik dapat mendorong anak anak melukis secara berulang kali dengan
nyaman dan mencoba mencungkil emosi anak anak melalui percakapan tentang
lukisan tersebut. Melalui kegiatan susulan yang diusulkan dalam buku ini atau
kegiatan lain yang sesuai, pendidik dapat membantu anak anak meningkatkan
konsep diri mereka. Buku ini akan membantu pendidik untuk memahami unsur terapi
seni melukis dan elemen elemen yang perlu dalam interpretasi lukisan anak anak.
Ada tiga prinsip utama dalam proses memahami lukisan
yang perlu diperhatikan oleh pendidik awal anak anak yaitu:
a) Prinsip
pertama
Pendidik
seharusnya tidak hanya menginterpretasi lukisan semata - mata tetapi harus
lebih memperhatikan perasaan internal anak anak.
b) Prinsip
kedua
pendidik
harus bertindak sebagai 'peneliti' dengan menggunakan pendekatan sistematis
dalam memahami lukisan anak anak. Sebagai contoh proses yang harus dilaksanakan
sebelum, selama dan setelah anak-anak melukis, memberi perhatian terhadap
ukuran kertas gambar dan memberi perhatian terhadap warna, bentuk, objek serta
item yang tertinggal dari lukisan tersebut.
c) Prinsip
ketiga
Pendidik
menganalisis informasi yang diperoleh dari lukisan dan luahan anak anak,
merekam serta mengumpulkan semua informasi tersebut untuk membuat rumusan
keseluruhan.
b.
Panduan
Pelaksanaan Kegiatan Melukis Untuk Anak Anak
Pelaksanaan kegiatan melukis dibagi menjadi tiga
langkah
1. Langkah
pertama
Melibatkan empat sesi
melukis oleh anak anak.
o Diri
Saya
o Keluarga
Saya
o Kegiatan
Bersama Keluarga, dan
o Cita-cita
Saya
Pendidik harus memastikan anak-anak
telah memiliki kesiapan untuk melukis di mana anak-anak seharusnya telah
memiliki keterampilan untuk membentuk objek dasar sebelum sesi melukis dimulai.
Instruksi kepada anak-anak harus diberi secara santai dan tidak memberi tekanan
untuk anak-anak melukis.
2. Langkah
kedua
Setiap
sesi akan disusul dengan interpretasi lukisan oleh pendidik menurut panduan
interpretasi yang diusulkan. Saat menginterpretasi, pendidik harus ngobrol
pertanyaan bagi mencungkil cerita di balik lukisan tersebut. Idealnya pendidik
merekam percakapan selama sesi ini berlangsung.
3. Langkah
ketiga
Jika
ada anak-anak yang perlu dibimbing, laksanakan beberapa kegiatan yang diusulkan
untuk meningkatkan emosi dan tingkat konsep diri anak. Pendidik bebas
menggunakan kreativitas masing-masing untuk melaksanakan kegiatan tindak lanjut
berdasarkan kebutuhan anak-anak atau dapat mengacu pada proposal kegiatan
susulan yang disertakan.
c.
Aplikasi
1. Sesi
1: Lukisan Diri Saya
Untuk
sesi pertama ini anak-anak diminta melukis diri mereka. Jika pendidik merasakan
anak-anak masih belum menguasai konsep elemen pada diri seorang manusia,
pendidik dapat membimbing anak-anak terlebih dahulu tentang elemen pada wajah
dan diri manusia seperti memiliki rambut, dua mata, hidung, mulut dan telinga
pada wajah, diikuti dengan elemen tubuh , tangan dan kaki. Pendidik juga dapat
membimbing anak-anak tentang penampilan wajah masing-masing seperti rambut
lurus atau keriting, mata bulat atau sepet, memakai jilbab atau tidak.
Selanjutnya pendidik dapat membimbing anak - anak untuk menggambarkan emosi
yang ingin ditampilkan pada wajah seperti cara melukis senyuman, muka masam
atau muka sedang marah.
2. Sesi
2: Lukisan Keluarga Saya
Anak-anak
banyak menghabiskan waktu mereka bersama keluarga. Ada berbagai emosi yang
dapat digambarkan saat bersama keluarga mereka. Jadi penting untuk mendorong
anak-anak bercerita tentang keluarga mereka berdasarkan lukisan yang
dihasilkan.
3. Sesi
3: Lukisan Aktivitas Bersama Keluarga
Lukisan
'Kegiatan Bersama Keluarga' dapat memberi gambaran tentang emosi dan sosial
anak - anak dengan individu yang dekat dengan diri mereka. Dalam
mengidentifikasi sosioemosi anak ini, pendidik dapat menanyakan beberapa
pertanyaan saat melukis, bertujuan membantu membasmi emosi anak saat melakukan
kegiatan bersama keluarga.
4. Sesi
4: Lukisan Cita-cita Saya
Sebagai
pendidik, masukkan diri kita ke dalam suasana lukisan untuk merasakan perasaan,
dan emosi anak. Dengar penjelasan anak-anak terhadap lukisan mereka.Tunjukkan kesungguhan
kita terhadap cerita yang disampaikan anak.
2.4 Pembahasan dalam Pandangan Budaya, Agama dan Kesehatan
1)
Pandangan
Art Therapy dalam Budaya
Ilmuwan
menemukan keterkaitan antara seni dan psikologi. Psikoanalisa, yang
kemunculannya dipelopori oleh Sigmund Freud, kemudian menjadi semakin
menguatkan hubungan antara teori seni dan psikologi, termasuk diantaranya
teori-teori paling komprehensif dan berani tentang sumber dari dorongan
artistik yang dikemukakan oleh Freud. Telah banyak teori-teori yang muncul
untuk membantah dan mengkritik teori Freud yang terlalu cenderung kepada
dorongan biologis manusia. Namun demikian, terlepas dari kelemahan-kelemahan
tersebut, kerangka dasar dari teori Freud telah menopang pengertian modern
tentang kepribadian, dan telah menjadi unsur-unsur hakiki kebudayaan Barat.
Hubungan yang ada antara seni dan psikologi dijelaskan ruang lingkupnya dalam
suatu cabang ilmu yang disebut Terapi Seni.
Terapi seni adalah salah satu cara untuk mendiagnosa
seberapa parah gangguan kejiwaan oleh seseorang dan salah satu cara untuk
seseorang menunjukan identitas nya yang sebenarnya, budaya memainkan peran
besar dalam pembentukan pengertian tentang diri dan identitas seseorang .
Budaya juga memiliki pengaruh luas atas seluruh perilaku seseorang di semua
bidang kehidupan. Seseorang dapat dan perlu mengeksplorasi bagaimana pengertian
tentang diri, pada hakekatnya saling berhubungan dengan budaya, mempengaruhi
kepribadian pribadi khususnya perasaan, pikiran, dan motivasi pribadi.
Pengertian kita tentang diri kita dikenal dengan sebutan self-concept atau
self-construal, suatu rujukan penting untuk memahami perilaku seseorang itu
sendiri, sekaligus memahami dan memprediksi perilaku orang-orang lain. Tinjauan
awal perihal bagaimana budaya menyumbang pada pembentukan konsep diri akan
menyediakan landasan bagi pemahaman hubungan antara budaya dan kepribadian
(personality). Konsep tentang diri ada hubungannya dengan budaya dan dengan
adanya budaya yang berbeda-beda, hal itu telah menyumbang terciptanya konsep
diri yang berbeda-beda pula. Budaya dengan ciri individualistik umumnya
memiliki konsep diri yang independent, sementara yang berbudaya kolektif
memiliki konsep diri yang interdependent. Perbedaan konsep diri ini membawa
pengaruh pada banyak aspek lain perilaku seseorang. Berkaitan dengan hubungan
antara budaya dan kepribadian, terdapat perbedaan pandangan. Antropologi budaya
memandang kepribadian lebih sebagai culturally specific, yang terbentuk oleh
kekuatan unik setiap budaya sesuai dengan kondisi lingkungannya. Sementara
pendekatan crosscultural psychological memandang kepribadian sebagai sesuatu
yang berlainan dan terpisah dari budaya.
Pendekatan lain yang muncul belakangan adalah
pendekatan cultural psychology. Dalam pendekatan ini, budaya dan kepribadian
dilihat bukan sebagai yang sungguh-sunguh terpisah satu sama lain, akan tetapi
sebagai sistem yang saling menciptakan dan memelihara satu sama lain. Culture
dan personality adalah dua hal yang saling membentuk dan berkembang bersama.
Dalam penelitian lintas budaya yang dilakukan, nampak bahwa negara-negara
dengan budaya yang berbeda mendukung validitas dari universalitas sifat-sifat
dasar kepribadian (traits), yang terdiri atas neuroticism, extraversion,
openness to experience, agreeableness, dan conscientiousnes. Hal ini berarti
ada pengakuan bahwa semua manusia, dengan berbagai budaya yang berbeda, berbagi
struktur kesamaan kepribadian, yang dicirikan oleh kelima sifat-sifat bawaan
tersebut, yang dianggap sebagai suatu mekanisme psikologi universal dan
sekaligus merupakan produk seleksi alam sekitar.
Telah diketahui bahwa budaya mempengaruhi
kepribadian seseorang, maka kreativitas seseorang akan berbeda beda dan unik.
Dalam mengerjakan karya yang melibatkan kreativitas (Art Terapi) , semua emosi dan
pikiran yang mengendap akan “tereksternalisasi‟ atau tersalurkan, sehingga
semua emosi dan pikiran tersebut pada akhirnya akan menjadi jelas akar
permasalahannya karena terbacanya simbol-simbol dari bentuk yang ada pada karya
tersebut. Seni juga memiliki kemampuan untuk mencatat dan menyampaikan berbagai
tingkatan emosi. Mengartikulasikan aspek budaya dari emosi membutuhkan konsep
yang komprehensif dari budaya itu sendiri. Tanpa konsep tersebut,
seseorang tidak memiliki framework untuk
memahami apa yang kultural tentang emosi, tidak punya parameter untuk
menentukan apa yang kultural di dalamnya. Menghubungkan ke dalam kognisi, emosi
adalah budaya persis ketika emosi itu dipikirkan. Emosi dibentuk oleh proses
budaya. Kualitas emosi merefleksikan proses kultural, dan berfungsi
menghidupkan terus menerus proses budaya.
Dari uraian ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa, jika dilihat dalam
ruang lingkup yang lebih luas lagi, seni telah menyediakan jalan bagi
pemahaman, membuat suatu pengertian dan menjelaskan pengalaman batin (inner
experiences) tanpa harus menjelaskan pengalaman tersebut dengan menggunakan
kata-kata.
2)
Pandangan
Art Therapy dalam Agama
A. Pandangan
Agama terhadap Seni
Pada dasarnya Agama merupakan pokok
ajaran yang paling fundamental yang menjadi turunan dan pedoman untuk ilmu –
ilmu lain. Di dalam agama sendiri jika kita sadari tuhan memiliki kemahakuasaan
yang begitu besar, di dalam maha karyanya yang paling sempurna yaitu alam
semesta beserta segala isinya tuhan menciptakannya juga sangat memperhatikan
usur seni disetiap bagiannya. Dari hal tersebut jelas tidak ada pantangan di
dalam agama untuk melarang umatnya berekspresi lewat karya seni selama karya
yang dibuatnya bagus dan sesuai dengan etik dan estetika. Banyak kita jumpai
juga produk – produk karya seni yang sengaja dibuat untuk memenuhi rasa
kepuasan batin dan spiritual seperti contohnya kaligrafi, patung dewa – dewi di
bali, lukisan perjamuan kudus dan masih banyak lagi. Dalam membangun tempat
ibadah pun saat ini unsur karya seni juga sangat melekat pada desain – desain
pembuatan bangunannya, itu artinya seni telah mengalir menjadi satu di dalam
konsep ketuhanan atau agama.
B. Seni
dalam Dimensi Agama
Posisi Seni dalam Agama Keluasan dan
kompleksitas ekspresi seni tidak semestinya dihukumi dengan satu sisi sudut
pandang saja. Sudut pandang agama saja, misalnya, tidaklah memadai untuk
menentukan hitam-putihnya nilai kesenian. Mungkinkah manusia melepaskan diri dari
kesenian, misalnya dengan larangan agama? Mungkin dan tidak mungkin. Mungkin
bagi orang per orang dari sekian miliar orang, tapi sangat tidak mungkin untuk
semua orang. Tapi, apakah agama selalu menghalang-halangi kesenian ataukah
antara agama dan kesenian saling membantu? Kalau melihat sejarah, kita akan
tahu bahwa kesenian juga punya banyak peran dalam agama. Hampir tidak ada agama
yang tidak punya ekspresi seni, mulai tembangannya, nadanya, mantranya, sampai adzan
dan qira’at-qira’atnya. Hubungannya tentu tidak selamanya simbiosis mutualistis
karena kadang juga terjadi banyak ketegangan. Orang yang beragama itu tidak
pernah bisa lepas dari lingkungan dan norma-norma masyarakatnya
sendiri-sendiri. Tapi, kita juga tahu bahwa masyarakat di dunia ini amat beragam,
dengan jutaan macam kultur. Karena itu, ketika agama apa pun diturunkan kepada
sekelompok manusia, ia akan ditafsirkan, dimaknai sendiri-sendiri oleh
orang-orang yang bersangkutan. Sehingga dalam persamaannya, baik kultur atau
ekspresi budaya apa pun, selalu terdapat perbedaan. Dan di dalam perbedaan
selalu terselip persamaan. Ruang lingkup ekspresi seni manusia itu tidak bisa
dibendung, baik secara fisik maupun batin, sebab semua lini kehidupan manusia
itu berproses.
Cara pandang agama terhadap seni itu
terkadang sama dengan cara pandang kita terhadap budaya. Kita tidak bisa
melihatnya hanya dari sisi ekonomi saja. Sebab, fungsi kebudayaan juga
bermacam-macam. Jadi, yang penting adalah seberapa jauh kita tidak memandangnya
hanya dari satu sudut saja. Kita juga tidak boleh mengharuskan memandang
sesuatu hanya dari satu sudut pandang. Mengharuskan dan menjangankan juga
sesuatu yang akan menyulitkan, terutama kalau kita berpandangan absolut. Karena
itu, baik anjuran maupun larangan, keduanya harus juga ada batasnya, dan tidak
boleh berlaku secara mutlak. Kuncinya: antara satu dan lain sudut pandang ada
keterkaitan. Bentuk keterkaitan itu bisa tebal dan bisa pula tipis.
C. Art
Terapi dalam pandangan Agama
Menurut Malchiodi (2003), melalui
kegiatan art atau seni ini, tidak hanya membantu individu untuk mengungkap kan
perasaan atau emosinya dengan cara atau bahasa yang lain, tetapi juga dapat
membantu individu dari segala usia untuk
mengeksplorasi emosi dan keyakinan, mengurangi stres, mengatasi masalah
dan konflik, dan meningkatkan rasa kesejahteraan. Dari pernyataan tersebut sama
seperti tujuan agama yaitu membuat seseorang merasa tenang, nyaman dan bisa
mengontrol antara pikiran dan perasaan. Mark Wagner (dalam Hirawan, 2014)
terdapat 10 manfaat art atau seni bagi anak anak, yaitu :
a) Seni
mengajarkan pemecahan masalah.
Mengerjakan
sebuah karya seni memberikan pengalaman pada anak betapa banyaknya kemungkinan
dan solusi yang bisa diambil dalam menghadapi suatu masalah/tugas.
b) Seni
mempersiapkan anak-anak menghadapi masa depannya.
Anak yang
bertumbuh dalam stimulasi kreativitas dan open minded akan memiliki peluang
lebih luas dalam perjalanan karirnya, karena kreativitas adalah life skill yang
dibutuhkan dalam berbagai situasi sehari-hari.
c) Seni
mengembangkan kecintaan akan belajar dan keterbukaan atas ide-ide baru.
Aktivitas seni
mengajarkan keberanian mengambil resiko dan keterbukaan akan berbagai
kemungkinan.
d) Seni
adalah bisnis internasional.
Seni tidak
mengenal batas, para pekerja seni dapat melintasi batas jarak dan negara.
e) Seni
mengembangkan kemampuan otak kiri dan otak kanan.
Seni membutuhkan fokus, konsentrasi dan
berbagai koordinasi visual motorik.
f)
Seni meningkatkan
performansi kepribadian.
Aktivitas seni
dapat meningkatkan kepercayaan diri, motivasi, komunikasi, kerja sama dan juga
memperkuat hubungan dengan lingkungan sekitarnya.
g) Seni
memfasilitasi kecerdasan emosional.
Seni dapat
membantu anak-anak untuk mengekspresikan perasaannya, terutama pada anak yang
masih memiliki keterbatasan bahasa. Sering kali anak-anak mampu menemukan
kesenangan dan kebanggan atas karya yang mereka hasilkan.
h) Seni
mengembangkan aktivitas dalam komunitas.
Seni adalah
satu-satunya bidang yang menembus batas-batas budaya, agama, ras, maupun
tingkat sosial ekonomi. Bahasa seni adalah bahasa emosi dimana batasan pengetahuan
dan logika tidak menjadi hambatan untuk memahami suatu karya seni.
i)
Seni meningkatkan
kepekaan.
Seni membuka
hati dan pikiran akan kemungkinan-kemungkinan dan imajinasi.
j)
Seni adalah media tanpa
batasan.
Kreativitas dan
pengekspresian diri adalah hal yang penting dalam hidup manusia. Sejarah
menunjukkan bahwa manusia purba memiliki kreativitas sejak petroglyphs, cave
paintings, juga patung-patung kuno yang ditemukan. Sama dengan anak-anak, hal
pertama yang mereka lakukan adalah bermain, menggambar, dan menggunakan imajinasi
mereka tanpa adanya batasan.
Dengan demikian, maka dapat
disimpulkan bahwa kegiatan art atau seni memiliki banyak manfaat. Secara
psikologis, melalui kegiatan seni individu dapat mengungkapkan dan
mengeksplorasi emosi yang dirasakan, mengurangi stress, mengatasi konflik dan meningkatkan
kesejahteraan. Selain itu, art juga memiliki manfaat lainnya, yaitu seni mengajarkan
pemecahan masalah, mempersiapkan anak-anak dalam menghadapi masa depan, mengembangkan
ide-ide baru, seni sebagai bisnis internasional, membantu mengembangkan otak
kanan dan otak kiri, performansi kepribadian, memfasilitasi kecerdasan
emosional, mengembangkan aktifitas, meningkatkan kepekaan, dan mengembangkan kreativitas.
3) Pandangan
dalam Kesehatan
Kondisi penuh tekanan merupakan ancaman bagi tubuh.
Ketika tubuh terpapar ancaman, hasilnya adalah sekumpulan perubahan fisiologis
yang umumnya disebut respon stres (Pinel, 2009). Respon yang muncul merupakan
respon yang kompleks, yaitu fisiologis, kognitif, emosional dan perilaku.
Respon fisiologis dapat termanifestasi dalam sistem syaraf otonom, sistem
kekebalan tubuh dan sistem neuroendokrin. Perubahan yang ditunjukkan dari
respon fisiologis, kognitif, emosional dan perilaku merupakan gejala kecemasan.
Gejala kecemasan yang muncul pada setiap induvidu dapat berbeda. Pada orang
dewasa gejala kecemasan dapat dilihat dari beberapa respon meliputi respon
fisiologis, kognitif, emosional dan perilaku.
Berdasarkan pendekatan biologis diajukan beberapa
hipotesis yang menyatakan bahwa emosi dihasilkan oleh umpan balik organ dan
otot tubuh ke sistem syaraf pusat.
Kemudian muncul hipotesis yang menyatakan bahwa persepsi imformasi sensoris
oleh otak pertama‐tama
akan menghasilkan pengalaman emosi (takut, marah dan lain sebagainya), kemudian
ekspresi emosi seperti peningkatan denyut jantung dan wajah yang memerah.
Beberapa emosi manusia tergantung pada kelompok fungsional nukleus dan seluruh
akson yang saling bersambungan di sistem syaraf pusat yang disebut sistem
limbik. Sistem limbik meliputi bagian talamus dan hipotalamus dan bagian
korteks serebral.Sistem limbik dihubungkan dengan daerah korteks serebral yang
terlibat dalam pembelajaran kompleks, nalar, dan personalitas (Pinel, 2009).
Bagian lain dari sistem limbik adalah amigdala.
Amigdala merupakan pusat utama pengumpulan data sensoris dan pengatur informasi
emosi. Amigdala menerima data sensoris dari talamus, batang otak, juga
informasi sensoris yang terintegrasi dari daerah asosiasi korteks serebral.
Jalur utama sinyal yang memicu ekspresi emosional merambat dari amigdala ke
sistem saraf otonom dan sistem motoris somatik melalui hipotalamus dan formasi
retikuler batang otak (Sarah, Nida, 2013).
Pada saat berhadapan dengan kondisi yang mengancam,
bagian otak yang aktif adalah sistem limbik. Amigdala memperolah sinyal dari
hipotalamus serta batang otak. Kemudian amigdala akan mengirimkan sinyal yang
memicu ekspresi emosional. Sinyal tersebut merambat dari amigdala ke sistem
saraf otonom dan sistem motoris somatik. Pada kondisi yang mengancam, sistem
saraf otonom mengirimkan sinyal kepada sistem saraf simpatik untuk berkerja.
Kerja sistem saraf simpatik menghasilkan peningkatan detak jantung,
merelaksasikan bronki di paru‐paru,
menghambat aktivitas lambung dan usus dan peningkatan suplai darah ke otot
(Sarah, Nida, 2013). Keluhan fisik yang dialami oleh individu sebagian besar
seperti kelelahan, mual, sesak nafas, insomnia, berkurangnya nafsu makan,
peningkatan denyut jantung dan ketegangan pada otot. Keluahan tersebut hasil
dari respon fisiologis merupakan manifestasi dari kerja saraf simpatis yang
merupakan bagian dari sistem saraf otonom.
Art Therapy merupakan terapi seni
yang disarankan untuk penyembuhan trauma khususnya mereka yang mempunyai
kendala dalam mengekspresikan perasaan melalui bahasa verbal. Terapi ini sesuai
karena dilihat dari karakteristik individu yang menuntut kebebasan dalam
penyampaian ekspresi jiwa dan pikirannya. Terapi itu dapat menyingkap dan
melepaskan tekanan alam bawah sadar melalui karya-karya yang terdiri dari hasil
seni tersebut. Terapi tersebut bertujuan untuk menjadikan pasien nyaman atas
diri mereka. ( Rahmat, 2008). Malchiodi
(2003) menyimpulkan pendapat dari beberapa ahli yang melakukan penelitian yang
menggunakan art therapy sebagai intervensi psikologis yang
mendukung perlakuan medis. Berdasarkan pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan
bahwa proses membuat kreasi seni dapat mengembangkan kemampuan coping
pasien terhadap stres dan gejala‐gejala
kesehatan.
Kekuatan art therapy bagi seseorang yang mengalami kecemasan terletak pada proses
kreatif dalam art therapy dapat memfasilitasi untuk mengungkapkan
ekspresi diri dan mengeksplorasi diri (Liebmann, dalam Chambala, 2008).
Pengalaman dalam menggambar, melukis ataupun aktivitas artistik lainnya
melibatkan proses di otak dan terlihat melalui reaksi tubuh. Proses pembuatan
gambar mengaktifkan visual cortex pada otak. Oleh karena itu
tubuh akan memberikan respon yang sama ketika menghadapi situasi yang nyata.
Sebagai salah satu contoh, pembuatan gambar dalam art therapy pada tema
tertentu yang berkaitan dengan peristiwa atau kondisi tertentu dapat
mempengaruhi emosi dan pikiran (Malchiodi, 2003).
Kemampuan
berpikir, emosional, kemampuan psikomotorik, akan berjalan, atau katakanlah
semua aspek tersebut akan secara spontan berfungsi secara serempak pada saat
proses berkarya seni terjadi. Disini, seni memainkan fungsi sesungguhnya
sebagai mediator, bukan sebagai agen utama penyembuh, dalam arti ia bersifat
reflektif, memberi gambaran sampai sejauh manakah kerusakan aspek kejiwaan pada
pasien, dan merekamnya. Sehingga terapis dapat menentukan pengobatan yang
bagaimanakah yang sesuai bagi pasien yang dapat menghasilkan visualisasi
tersebut. Dengan demikian, penulis memandang bahwa image-image yang
tampak dapat pula berfungsi sebagai sebuah diagnosa.
Seperti halnya pada ilmu kedokteran, ataupun psikologi. Berikut adalah sebuah
contoh jika kondisi kesehatan seseorang akan mempengaruhi visualisasi. Perbandingan visualisasi antara pasien
Neurotik dan pasien yang telah dapat dikatakan sembuh atau normal melaui terapi
seni.
Ciri-ciri pada gambar pasien neurotik
|
Ciri-ciri pada gambar normal
|
1. Warna dan bentuk
divisualisasikan tumpang tindih (overlapping)
2. Bentuk dan komposisi
absurd
3. Pemilihan warna cenderung
ke warna- warna gelap dan suram
4. Tidak terdapat objek real
(nyata)
5. Terdapat visualisasi
bentuk-bentuk dasar seperti segitiga, lingkaran persegi
6. Pembagian bidang tampak
kacau
7. Brush stokes tampak
kasar, tak terkendali dan kacau
8. Warna terkadang tampak
samar
|
1. Warna dan bentuk
divisualisasikan dengan teratur
2. Bentuk dan komposisi
tampak harmonis
3. Pemilihan warna cenderung
pada warna-warna cerah, dan terdapat keselaran antara terang dan gelap
4. Terdapat dominasi
bentuk-bentuk real (nyata)
5. Pembagian bidang tampak
teratur
6. Brush strokes terlihat
tenang, teratur dan solid
7. Warna tampak terorganisir
dengan rapi tampak solid dan rapi
|
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Terapi komplementer dikenal dengan
terapi tradisional yang digabungkan dalam pengobatan modern. Komplementer
adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam pengobatan modern (Andrews et
al., 1999 dalam Widyatuti, 2008). Menurut
AATA (American Art Therapy Association),
terapi seni itu sendiri dapat
diartikan sebagai suatu kegiatan terapeutik yang menggunakan proses
kreatif dalam lukisan untuk menambah baik dan menyempurnakan fisikal, mental
dan emosi individu dibawah semua peringkat umur. Terapi
tersebut pada dasarnya digunakan untuk melakukan intervensi baik usia anak-anak
hingga dewasa tergantung daripada kebutuhan tiap individu tersebut.
Terapis seni percaya bahwa pelepasan energi kreatif yang
terkait dengan ekspresi artistik dapat menyebabkan penyembuhan fisik, emosional
dan spiritual. Mereka percaya bahwa tindakan menggambar, melukis atau membuat patung
membantu pasien dengan mempromosikan kesadaran diri, mengurangi kesepian dan
memungkinkan pasien untuk mengungkapkan perasaan yang mereka tidak bisa mengungkapkannya.
Konsep pelaksanaan terapi mengacu pada latihan yang
berulang ulang. Dengan menerapkan unsur terapi dalam kegiatan melukis anak
anak, pendidik dapat mendorong anak anak melukis secara berulang kali dengan
nyaman dan mencoba mencungkil emosi anak anak melalui percakapan tentang
lukisan tersebut. Melalui kegiatan susulan yang diusulkan dalam buku ini atau
kegiatan lain yang sesuai, pendidik dapat membantu anak anak meningkatkan
konsep diri mereka. Buku ini akan membantu pendidik untuk memahami unsur terapi
seni melukis dan elemen elemen yang perlu dalam interpretasi lukisan anak anak.
DAFTAR PUSTAKA
Anoviyanti, Sarie Rahma. (2008). Terapi Seni Melalui
Melukis pada Pasien Skizofrenia dan Ketergantungan Narkoba. Vol 2, 72-84.
Cahill, M., et al. (1999). Nurse’s
Handbook of Alternative and complementary therapies. Pennysylvania :
Springhouse Corporation
Coiner
& Kim, (2011) dalam Fatmawati, Atikah . Kajian Literatur : Efektifitas Art Therapy Dalam Meningkatkan
Kualitas Hidup Dan Kesehatan Psikologis Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang
Menjalani Hemodialisis. Jurnal Medica Majapahit.2015. Vol 7(1). Hal 3-10. http://ejurnalp2m.stikesmajapahitmojokerto.ac.id/index.php/MM/article/view/16/13
Field & Kruger, (2005) dalam
Fatmawati, Atikah . Kajian Literatur :
Efektifitas Art Therapy Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Dan Kesehatan
Psikologis Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal
Medica Majapahit.2015. Vol 7(1). Hal 3-10.
Humaniora. (2010). Pengembangan
Culture, Self, And Personality Dalam Diri Manusia.Vol 1, 37-48.
Johnson & Sullivan-Marx (2006)
dalam Fatmawati, Atikah . Kajian
Literatur : Efektifitas Art Therapy Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup
Dan Kesehatan Psikologis Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani
Hemodialisis. Jurnal Medica Majapahit.2015. Vol 7(1). Hal 3-10.
Malchiodi, C. A.
(2003). Handbook of Art Therapy. New York: Guilford Press
Malchiodi, (2008) dalam Fatmawati,
Atikah . Kajian Literatur : Efektifitas
Art Therapy Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Dan Kesehatan Psikologis
Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal Medica Majapahit.2015.
Vol 7(1). Hal 3-10.
Mariotti & Rocha de, (2011)
dalam Fatmawati, Atikah . Kajian
Literatur : Efektifitas Art Therapy Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup
Dan Kesehatan Psikologis Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani
Hemodialisis. Jurnal Medica Majapahit.2015. Vol 7(1). Hal 3-10.
Nagasaka, (2013) dalam Fatmawati,
Atikah . Kajian Literatur : Efektifitas
Art Therapy Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Dan Kesehatan Psikologis
Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal Medica
Majapahit.2015. Vol 7(1). Hal 3-10.
Nainis et al, (2006) dalam
Fatmawati, Atikah . Kajian Literatur :
Efektifitas Art Therapy Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Dan Kesehatan
Psikologis Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal
Medica Majapahit.2015. Vol 7(1). Hal 3-10.
Norasmah, Noor
Mohamad dkk. 2013. Interpretasi Lukisan Kanak-kanak. Pusat Penyelidikan
Perkembangan Kanak-kanak Negara. Universitas Pendidikan Sultan Idris
Pinel, J. P. J. (2009).
Biopsikologi. Edisi ke 7. Terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rahmat Fajar. 2008. Konseling Anak-Anak Panduan
Praktis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ratner, C. (2000). A
cultural-psychological analysis of emotions, in Culture and Psychologgy, Vol 6,
1-39.
Reynolds, (2012) dalam Fatmawati,
Atikah . Kajian Literatur : Efektifitas
Art Therapy Dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Dan Kesehatan Psikologis
Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal Medica
Majapahit.2015. Vol 7(1). Hal 3-10.
Sarah, Nida. (2013). Kajian Teoritis Pengaruh Art Therapy Dalam Mengurangi
Kecemasan Pada Penderita Kanker. Buletin Psikologi. Vol 18 (1) : 29 – 35
Setyoadi & Kushariyadi. (2011).
Terapi Modalitas Keperawatan pada Klien Psikogeriatrik. Jakarta : Salemba
Medika
Setyoadi & Kushariyadi (2011)
dalam Norasmah,Noor Mohamad dkk. 2013. Interpretasi Lukisan Kanak-kanak. Pusat
Penyelidikan Perkembangan Kanak-kanak Negara. Universitas Pendidikan Sultan
Idris